Senin, 13 April 2015

epistemologi Islam dalam perspektif psikolgi sufistik



MAKALAH
    “Epistemologi dalam Psikologi Sufistik”
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Mata Kuliah
“Psikologi Sufistik”
Dosen Pengampu:
Rizqa Ahmadi, Lc. M.Ag
Disusun oleh :
1.    Linda Trisulawati        (2833123007)
2.    Naharin Suroyya         (2833123010)

JURUSAN TASAWUF PSIKOTERAPI
FAKULTAS USHULUDDIN ADAB DAN DAKWAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI
 TULUNGAGUNG
2015

DAFTAR ISI
BAB I     PENDAHULUAN...............................................................................   1
A.    Latar Belakang........................................................................................      1
B.     Rumusan Masalah...................................................................................      1
C.     Tujuan .....................................................................................................      2

BAB II    PEMBAHASAN..................................................................................   3
A.    Pengertian Epistemologi dalam Psikologi Sufistik.................................      3
B.     Biografi Muhammad Abid al Jabiri Sebagai Tokoh Epistemologi dalam
Psikologi Sufistik ...................................................................................      4
C.     Model-Model Epistemologi dalam Psikologi Sufistik............................      5
D.    Hubungan Epistemologi Bayani, Irfani dan Burhani dalam Psikologi
Sufistik ...................................................................................................   13

BAB III   KESIMPULAN................................................................................   14
DAFTAR PUSTAKA.......................................................................................   16


















BAB 1
PENDAHULUAN
A.  Latar Belakang
Manusia adalah makhluk ciptaan Allah yang sempurna. Dia mempunyai akal yang mampu menemukan jalan keluar untuk menyelesaikan segala persoalan yang terjadi dalam mempertahankan hidup dan beradaptasi dilingkungan tempat tinggalnya. Dalam mengatasi persoalan hidupnya, manusia menciptakan penemuan baru melalui pengembangan ilmu pengetahuan yang dia temukan. Inilah yang membedakan manusia dengan makhluk ciptaan-Nya yang lain.
Namun tak selamanya ilmu pengetahuan mempermudah manusia, terkadang ilmu pengetahuan juga bisa menjadi musibah bagi kelangsungan hidup manusia sendiri. Seperti tragedi jatuhnya bom atom di Hirosima dan Nagasaki Jepang yang membumi hanguskan kota tersebut dalam sekejap. Ilmu pengetahuan tentang atom dalam keilmuan fisika menjadi bencana bagi manusia. Hal tersebut terjadi karena ilmu pengetahuan dunia tanpa dibarengi dengan ilmu pengetahuan agama akan menyebabkan manusia buta akan kodratnya sebagai khalifah dibumi ini. Sebagaimana sabda Rosululloh “Ilmu tanpa agama itu pincang, agama tanpa ilmu itu buta”.
Hadis diatas membuktikan bahwa ilmu yang berkaitan dengan dunia dan kehidupan setelahnya sangatlah penting. Keduanya haruslah seimbang dan selaras. Psikologi sufistik yang pada hakikatnya mempelajari tentang kejiwaan seseorang yang berusaha dekat dengan tuhan dapat memberikan solusi pemahaman tentang tujuan awal manusia diciptakan, yaitu sebagai kholifah yang bertugas pengelola dan pemimpin dibumi sebagai wakil Allah. Keilmuan psikologi sufistik mempunyai konstribusi yang besar sebagai keilmuan yang menghantarkan manusia akan hakekat dirinya diciptakan di bumi ini. Hal tersebut supaya manusia mampu berpikir bijak akan semua tindakan dan keputusan yang diambil demi kemaslahatan kehidupan bumi ini. 
Oleh karena itu sangat diperlukan sekali untuk mengkaji lebih dalam tentang psikologi sufistik dilihat dari aspek dasarnya, yaitu epistemologi Islam dalam psikologi sufistik. Untuk itu dalam makalah ini kami akan mengulas pengertian epistimologi dalam psikologi sufistik, biografi Muhammad Abid al Jabiri sebagai tokoh epistemologi Islam, model-model epistemologi Islam, keterkaitan antar mode-model epistemologi Islam dan aplikasi epistemologi Islam dalam psikologi sufistik menurut perspektif al Hakim al Tirmidzi.





B.  Rumusan Masalah
           1.       Apakah pengertian epistemologi dalam psikologi sufistik?
           2.       Bagaimanakah biografi Muhammad Abid al Jabiri sebagai tokoh epistemologi Islam?
           3.       Bagaimanakah model-model epistemologi  Islam?
           4.       Bagaimanakah hubungan antara epistemologi bayani, irfani dan burhani?
           5.       Bagaimanakah aplikasi epistemologi Islam dalam psikologi sufistik menurut perspektif al Hakim al Tirmidzi?
C.  Tujuan
1.    Untuk mengetahui pengertian epistemologi dalam psikologi sufistik.
2.    Untuk mengetahui biografi Muhammad Abid al Jabiri sebagai  tokoh epistemologi Islam.
3.    Untuk mengetahui model-model epistemologi  Islam.
4.    Untuk mengetahui hubungan antara epistemologi bayani, irfani dan burhani.
5.    Untuk mengetahui aplikasi epistemologi Islam dalam psikologi sufistik menurut perspektif al Hakim al Tirmidzi.




















BAB II
PEMBAHASAN
A.      Pengertian Epistemologi dalam Psikologi Sufistik
Secara etimologi, epistemologi berasal dari kata Yunani, episteme dan logos. Episteme biasa diartikan pengetahuan atau kebenaran. Logos diartikan pikiran, kata atau teori. Epistemologi secara etimologi dapat diartikan teori pengetahuan yang benar, dan lazimnya hanya disebut teori pengetahuan yang dalam bahasa Inggrisnya menjadi “theory of knowledge.[1] Abbas Hammami Mintarejo memberikan pendapat bahwa epistemologi adalah bagian filsafat atau cabang filsafat yang membicarakan tentang terjadinya pengetahuan dan mengadakan penilaian atau pembenaran dari pengetahuan yang telah terjadi itu.[2] Epistemologi adalah bagian dari filsafat yang membicarakan tentang terjadinya pengetahuan, sumber pengetahuan, asal mula pengetahuan, batas-batas, sifat, metode dan kebenaran pengetahuan. Jadi objek material dari epistemologi adalah pengetahuan dan objek formalnya adalah hakikat pengetahuan itu.
Sedangkan psikologi sufistik yaitu suatu cabang kajian saintifik yang mengkaji, mempelajari dan meneliti perilaku pengalaman spiritual para sufi ketika berinteraksi dengan Rabb-nya, yaitu Allah SWT serta bagaimana pengaruhnya terhadap dirinya, orang lain dan lingkungan disekitarnya.[3]
Ada seorang tokoh yang bernama Muhammad Abid al Jabiri yang terkenal sebagai tokoh epistemologi dalam psikologi sufistik. Menurut al Jabiri, epistemologi (an-nidham al-ma’rifi), didefinisikan sebagai “kumpulan dari konsep, prinsip dan cara kerja untuk mencari pengetahuan yang mengandung dimensi sejarah dalam struktur tak sadar.” Dia membagi model-model epistemologi dalam psikologi sufistik menjadi 3, yakni epistemologi bayani, epistemologi irfani dan epistemologi burhani.[4]
Sehingga dapat disimpulkan bahwa epistimologi dalam psikologi sufistik adalah teori pengetahuan yang bertujuan untuk mengadakan penilaian atau pembenaran dari ilmu psikologi sufistik, sehingga dapat diketahui kebenaran dari teori psikologi sufistik tersebut. Selain itu, epistemologi dalam psikologi sufistik juga bertujuan untuk mengontrol perkembangan dari teori psikologi sufistik, agar tidak melenceng dari al Qur’an dan al Hadist.



B.       Sekilas Biografi Muhammad Abid al Jabiri Sebagai Tokoh Epistemologi Islam
Muhammad Abid al Jabiri terlahir di Figuig, Maroko Tenggara, tahun 1936. Beliau pertama kali masuk sekolah di sebuah sekolah agama, kemudian sekolah swasta nasional (madrasah hurrah wathaniah) yang didirikan oleh gerakan kemerdekaan. Dari tahun 1951-1953, beliau belajar disekolah lanjutan setingkat dengan SMA milik pemerintahan Casablanca. Melanjutkan pendidikan  sekolah tingginya setingkat diploma pada Sekolah Tinggi Arab dalam bidang Ilmu Pengetahuan (science section). Pada tahun 1959 al Jabiri memulai studi filsafat di Universitas Damaskus, Syria. Namun satu tahun kemudian beliau masuk di Universitas Rabat. Pada tahun 1967 beliau menyelesaikan ujian Negara dengan tesisnya yang berjudul, “The Philosophy of History of Ibn Khaldun”, (filsafat al-tarikh ‘inda Ibn Khaldun dibawah bimbingan M. Aziz Lahbabi) dan menyelesaikan program doktornya pada almamater yang sama pada tahun 1970  dengan disertasi berjudul “Fikr Ibn Khaldun al-Asabiyyah wa ad Daulah: Ma’alim Nazariyyah Khalduniyyah fi at Tarikh al Islami” (Pemikiran Ibn Khaldun al Asabiyah dan Negara: Rambu-Rambu Paradigmatik Pemikiran Ibn Khaldun dalam Sejarah Islam).[5]
Pada dekade 50-an, ketika masih kuliah di Universitas Muhammad V, al Jabiri banyak membaca dan mempelajari ajaran Marxisme yang memang tumbuh subur di dunia Arab saat itu. Al Jabiri mengakses buku atau pemikiran berbahasa Prancis, termasuk pemikiran kaum strukturalis, post-strukturalis maupun post-modernis  yang rata-rata lahir di Prancis. Akan tetapi dia kemudian meragukan efektifitas pendekatan Marxian dalam konteks sejarah pemikiran Islam. Apalagi setelah membaca karya Ves Lacoste yang membandingkan Karl Marx dengan Ibn Khaldun, antara Barat dan Islam. Dari situ kemudian dia balik mempertanyakan asumsi-asumsi para peneliti orentalis yang mengkaji Islam dinilainya terlalu memaksakan kehendak, sehingga perlu membangun metodologi tersendiri terhadap pemikiran Arab.
Al Jabiri mulai meneliti tentang kebudayaan dan pemikiran Islam. Namun, dalam hal ini dia membatasi diri hanya pada Islam-Arab, pada teks-teks yang ditulis dengan bahasa Arab. Dia juga membatasi diri pada persoalan epistemologi, yakni mekanisme berfikir yang mendominasi kebudayaan Arab dalam babak-babak tertentu. Proyek al Jabiri yang sangat monumental adalah Naqd al-‘Aql al-‘Arabi (kritik nalar Arab). Literature-literatur yang digelutinya adalah literatur klasik berbahasa Arab dan lahir dalam lingkungan geografis, kultural dan sosial politik masyarakat Arab.
Dalam buku tersebut al Jabiri menjelaskan, bahwa apa yang dikatakan oleh teks dan apa yang tidak dikatakan (not-said) dalam pandangannya, merefleksikan ketegangan antara beberapa jenis nalar yang muncul saat itu. Hal ini penting bagi al Jabiri yang ingin menjadikan teks tersebut sebagai titik tolak bagi kemunculan apa yang disebutnya sebagai nalar bayani, ‘irfani dan burhani. Kritik nalar Arab ini terbagi atas dua seri, yakni: pertama, berjudul “Takwin al-‘Aql al-‘Arabi”, Muhammad Abid al Jabiri mengkonsentrasikan analisisnya pada proses-proses historis, baik epistemologis maupun ideologis yang memungkinkan terbentuknya nalar-nalar bayani, ‘irfani dan burhani, termasuk interaksi diantara ketiga nalar tersebut beserta kritis-kritis yang menyertainya. Kedua, Bunyah al-‘Alq al-Arabi. Dia berupaya menyingkap struktur internal masing-masing ketiga nalar ini, lengkap dengan segenap basis epistemologinya. Bahwa nalar yang diterima manusia saat ini yang dipakai untuk menafsirkan, menilai, dan memproduksi pengetahuan adalah nalar yang tidak pernah berubah sejak awal diresmikan dari masa lalu.[6]
C.      Model-Model Epistemologi Islam
Menurut al Jabiri model-model epistemologi Islam  ada 3, yakni:
  1. Epistemologi Bayani
a.    Pengertian  Epitemologi Bayani
Secara etimologi, bayan berarti penjelasan (eksplanasi). Menurut al Jabiri berdasarkan beberapa makna yang diberikan kamus lisan al Arab mengartikan sebagai al fashl wa infishal (memisahkan dan terpisah) dalam kaitannya dengan metodologi dan al dhuhur wa al idhar (jelas dan penjelasan) berkaitan dengan visi dari metode bayani.
Sementara itu, secara terminologi bayan mempunyai dua arti, yakni: pertama, sebagai aturan penafsiran wacana. Kedua, sebagai syarat-syarat memproduksi wacana. Berbeda dengan makna etimologi yang telah ada sejak awal peradaban Islam, makna etimologis ini baru lahir belakangan, yakni pada masa kodifikasi (tadwin).[7]
Bayani adalah metode pemikiran khas Arab yang didasarkan atas otoritas teks (nash), baik secara langsung ataupun tidak langsung. Secara langsung artinya memahami teks sebagai pengetahuan jadi dan langsung mengaplikasikannya tanpa perlu pemikiran. Secara tidak langsung berarti memahami teks sebagai pengetahuan mentah sehingga perlu tafsir dan penalaran. Meski demikian, hal ini bukan berarti akal atau rasio bisa bebas menentukan makna dan maksudnya, tetapi tetap harus bersandar pada teks.
Epistimologi bayani adalah pendekatan dengan cara menganalisis teks. Maka sumber epistemologi bayani adalah teks. Sumber teks dalam studi Islam dapat dikelompokkan menjadi dua, yakni: teks nash (al-Qur`an dan Sunnah Nabi Muhammad SAW) dan teks non nash berupa karya para ulama.[8]
Dengan demikian dapat ditarik kesimpulan bahwa epistemologi bayani adalah metode yang digunakan untuk mendapatkan suatu ilmu pengetahuan dengan cara memahami sebuah teks. Maka hal ini sangat dibutuhkan dalam psikologi sufistik, mengingat bahwa awal munculnya psikologi sufistik berasal dari pemahaman para tokoh terhadap suatu teks. Untuk itu, agar kita mampu memahami sebuah teks dari segi psikologi dan segi sufistik hendaknya metode penafsiran teks  sangat membantu kita.
Psikologi sufistik adalah sebuah disiplin ilmu yang mengkaji, mempelajari dan meneliti perilaku spiritualitas seseorang ketika berinteraksi dengan lingkungan sosial dan dengan Rabb-nya, yaitu Allah SWT. Dimana proses tersebut dibangun atas dasar paradigma tasawuf yang berbasis al Qur’an dan al Hadits. Untuk mendapatkan pemahaman yang baik dan benar dalam memahami psikologi sufistik, khususnya terhadap teks al Qur’an dan al Hadits yang terdapat di dalamnya, metodologi bayani sangat dibutuhkan. Karena ketika seseorang salah dalam menafsirkan sebuah teks, maka hasil penafsiran tersebut tidak dapat dijadiakan acuan dalam sebuah hukum.
b.        Jalan Untuk Mendapatkan Pengetahuan Bayani
Untuk mendapatkan pengetahuan, epistemologi bayani menempuh dua jalan. Pertama, berpegang pada redaksi teks dengan menggunakan kaidah bahasa Arab. Kedua, berpegang pada makna teks dengan menggunakan logika, penalaran atau rasio sebagai sarana analisis. Kalau dalam bahasan ilmu fiqih jalan kedua ini biasa disebut qiyas.
Menurut al Jabiri, metode qiyas sebagai cara mendapatkan pengetahuan dalam epistemologi bayani digunakan dalam 3 aspek yaitu:
1)   Qiyas jali, dimana far mempunyai persoalan hukum yang kuat di banding ashl.
2)   Qiyas fi makna an nash, dimana ashl dan far mempunyai derajat hukum yang sama.
3)    Qiyas al kahfi dimana illat ashl tidak diketahui secara jelas dan hanya menurut perkiraan mujtahid.[9]
Dalam epistemologi bayani, karena dominasi teks sedemikian kuat maka peran akal hanya sebatas sebagai alat pembenaran atau justifikasi atas teks yang dipahami atau diinterpretasi. Namun, hal itu bukan berarti model berpikir yang semacam ini tidak memiliki  kelemahan. Kelemahan mencolok pada epistemologi bayani adalah ketika harus berhadapan dengan teks-teks yang berbeda, milik komunitas, bangsa atau masyarakat lainnya. Karena otoritas ada pada teks dan rasio hanya berfungsi sebagai pengawal teks, sementara sebuah teks belum tentu diterima oleh golongan lain, maka epistemologi bayani akan menghasilkan sikap mental yang dogmatis, defensif dan apologetik, sehingga dari sikap ini muncul suatu konsep atau sikap, pemahaman dengan semboyan “pemahaman saya yang paling benar dan yang lain salah”.
Jika epistemologi bayani tidak dipahami dengan baik maka tujuan dari psikologi sufistik tidak akan tercapai. Tujuan psikologi sufistik adalah memiliki tingkat spiritualitas tinggi dalam diri individu sehingga mampu menyeimbangkan hubungan sosial dengan hubungan terhadap Alloh. Apabila pada diri seorang sudah terdapat anggapan bahwa “dia yang paling benar dan yag lain salah” maka sudah pasti tujuan psikologi sufistik tidak akan tercapai. Untuk mengurangi hal tersebut hendaknya pemahaman untuk melakukan metode epistemologi bayani harus benar dan bisa untuk dipertanggungjawabkan.
2.      Epistemologi Irfani
a.    Pengertian Epitemologi Irfani
Irfan dari kata dasar bahasa Arab ‘arafah semakna dengan makrifat berarti pengetahuan. Tapi ini berbeda dengan ilmu. Irfan atau makrifat berkaitan dengan pengetahuan yang diperoleh secara langsung lewat pengalaman sedangkan ilmu menunjuk pada pengetahuan yang diperoleh lewat transformasi (naql) atau rasianalitas (aql). Secara terminologis, irfan bisa diartikan sebagai pengungkapan atas pengetahuan yang diperoleh lewat penyinaran hakikat oleh Tuhan kepada hambaNya setelah adanya olah ruhani yang dilakukan atas dasar cinta.[10]
Pengetahuan irfani tidak didasarkan atas teks seperti bayani, juga tidak atas rasio seperti burhani, tetapi pada kasyf atau intuisi (tersingkapnya rahasia-rahasia realitas oleh Tuhan). Sistem epistemologi irfani didasarkan atas adanya perbedaan antara yang batin atau manifest dengan yang zahir atau laten. Hal yang bersifat batin memiliki posisi tertinggi dalam herarki pengetahuan irfani. Irfani sebagai pengetahuan yang diperoleh melalui kasyaf dan ilham, dikalangan sufi dianggap lebih tinggi daripada pengetahuan biasa yang diperoleh melalui usaha manusia dengan indera dan akal.
Epistemologi irfani adalah penelitian dan perenungan yang mendalam disertai dengan ketajaman dan penajaman hati nurani yang dibangun melalui munajat wa taqarrub ilallah banyak melaksanakan ibadah masyru’ah, tadabbur al Qur’an dan berakhlak karimah adalah upaya penguatan potensi kecerdasan spiritual. Disini perlu penghayatan dan pengamalan keagamaan yang mendalam sebagai perangkat untuk memahami dan menjelaskan agama. Dalam pendekatan irfani ini terdapat unsur humanitas (rasa kemanusiaan), tetapi humanitas ilahiyyah, yakni rasa kemanusian yang timbul setelah banyak melakukan dalam munajat dan mujahadah kepada Allah swt. Orang-orang yang bersungguh-sungguh dalam munajat dan mujahadah kepada Allah akan dibukakan hijab yang menutup antara dirinya dengan Allah, sehingga tidak ada lagi batas atau hijab.[11]
Dalam psikologi sufistik, epistemologi irfani dibutuhkan sebagai suatu metode untuk mendapatkan sumber pengetahuan seorang sufi yakni, suatu kebenaran yang sejati. Melalui epistemologi irfani suatu pengetahuan akan kebenaran didapatkan seseorang langsung dari Alloh, sehingga tidak ada cacat sedikitpun didalam pengetahuan tersebut. Pengetahuan akan kebenaran yang sejati ini bisa membuat orang lebih baik dalam menjalankan kewajibanya tehadap Tuhan dan menjalani kehidupan sosial.
b.        Jalan Untuk Mendapatkan Epistemologi Irfani
Menurut al Ghazali ada 4 jalan yang harus dilalui oleh seseorang untuk mendapatkan pengetahuan epistemologi irfani, yakni:
1)   Riyadhah
Riyadhah adalah latihan kejiwaan melalui upaya membiasakan diri agar tidak melakukan hal-hal yang dapat mengotori jiwanya. Riyadhah dapat pula berarti proses internalisasi kejiwaan dengan sifat-sifat terpuji dan melatih membiasakan meninggalkan sifat-sifat jelek. Riyadhah harus disertai dengan mujahadah. Mujahadah yang dimaksudkan disini adalah kesunnguhan dalam perjuangan meninggalkan sifat-sifat jelek.
Riyadhah perlu dilakukan karena ilmu ma’rifat dapat diperoleh melalui upaya melakukan perbuatan kebaikan yang terus-menerus. Dalam hal ini, riyadhah berguna untuk menempa tubuh jasmani dan akal budi orang yang melakukan latihan-latihan itu sehingga mmampu menangkap dan menerima komunikasi dari alam ghaib (malakut) yang transendental. Hal terpenting dalam riyadhah adalah melatih jiwa melepaskkan ketergantungan terhadap kelezatan duniawi yang fatamorgana,, lalu menghubungkan diri dengan realitas rohani dan Ilahi. Dengan demikian, riyadhah akan mengantarkan seseorang selalu berada di bawah bayangan Alloh.
2)   Tafakur
Tafakur penting dilakukan oleh manusia yang menginginkan ma’rifat. Sebab, tatkala jiwa telah belajar dan mengolah ilmu, lalu memikirkan (bertafakur) dan menganalisanya, pintu kegaiban akan dibukakan untuknya. Menurut al Ghazali, orang yang berfikir dengan benar akan menjadi dzawi al-albab (ilmuwan) yang terbuka pintu kalbunya sehingga akan mendapat ilham.
Tafakur berlangsung secara internal dengan proses pembelajaran dari dalam diri manusia melalui aktivitas berpikir yang menggunakan perangkat batiniah (jiwa). Selanjutnya tafakur dilakukan dengan mempotensikan nafs kulli (jiwa universal). Validitas yang diperoleh melalui metode tafakur sangat tinggi kualitasnya. Sebagaimana yang diungkapkan Al-Ghazali: “nafs kulli lebih besar dan lebih kuat hasilnya dan lebih besar kemampuan perolehannya dalam proses pembelajaran.”
3)   Tazkiyat an Nafs
Tazkiyat an nafs adalah proses penyucian jiwa manusia. Proses penyucian jiwa dalam kerangka tasawuf ini dapat dilakukan melalui tahapan takhalli dan tahalli. Tazkiyat An-Nafs merupakan inti kegiatan bertasawuf.
Upaya melakukan penyempurnaan jiwa perlu dilakukan oleh setiap orang yang menginginkan ma’rifat. Ada lima hal yang menjadi penghalang bagi jiwa dalan nenangkap hakikat, yaitu: pertama, jiwa yang belum sempurna. Kedua, jiwa yang dikotori perbuatan-perbuatan maksiat. Ketiga, menuruti keinginan badan. Keempat, penutup yang menghalangi masuknya hakikat kedalam jiwa. Kelima, tidak dapat berpikir logis. Dibutuhkan pengembalian jiwa kepada kesempurnaannya untuk menghilangkan penghalang itu. Dalam konteks inilah, penyempurnaan jiwa dapat dilakukan dengan tazkiyat an nafs.
Tazkiyat an nafs dalam konsepsi tasawuf berdasar pada asumsi bahwa jika manusia ibarat cermin, sedangkan ilmu ibarat gambar-gambar objek material. Kegiatan mengetahui sesungguhnya ibarat cermin yang menangkap gambar-gambar. Banyaknya gambar yang tertangkap dan jelasnya tangkapan bergantung pada kadar kebersihan cermin bersangkutan. Dengan demikian, kesucian jiwa adalah syarat bagi masuknya hakikat-hakikat atau ilmu ma’rifat ke dalam jiwa.
4)   Dzikrullah
Secara etimologi, dzikir adalah mengingat, sedangkan secara istilah mambasahi lidah dengan ucapan-ucapan pujian kepada Allah. Dzikir merupakan jalan lain yang paling utama untuk memperoleh ilmu laduni dan ma’rifat.
Pentingnya dzikir untuk mendapatkan ilmu ma’rifat didasarkan atas argumentasi tentang peranan dzikir itu sendiri bagi hati. Al Ghazali dalam Ihya’ menjelaskan bahwa hati manusia tak ubahnya seperti kolam yang mengalir kedalamnya bermacam-macam air. Pengaruh yang datang ke dalam hati adakalanya berasal dari luar, yaitu pancaindra dan adakalanya dari dalam, yaitu khayal, syahwat, amarah dan akhlak atau tabiat manusia.
Dalam pandangan sufi, dzikir akan membuka tabir alam malakut, yakni denggan datangnya malaikat. Sudah menjadi kesepakatan umum bahwa dzikir merupakan kesepakatan  alam ghaib, penarik kebaikan, penjinak was-was dan pembuka kewalian. Dzikir juga bermanfaat untuk membersihkan hati. Dalam Ihya’, al Ghazali menjelaskan bahwa hati yang terang merupakan hasil dzikir kepada Allah. Takwa merupakan pintu gerbang dzikir, sedangkan dzikir merupakan pintu gerbang kasyaf (terbukanya hijab). Sedangkan kasyaf adalah pintu gerbang kemenangan besar. Dzikir juga berfungsi untuk menghalangi setan dari hati manusia. Pada saat itulah malaikat akan memberikan ilham ke dalam hati.[12]
Jalan yang harus ditempuh oleh seseorang yang berkeinginan dekat dengan Alloh tanpa adanya suatu tabir pembatas sebagaimana ditunjukkan oleh epistemologi irfani, itu adalah suatu jalan yang akan menghantarkan manusia untuk mencapai kesucian jasmani dan rohani. Riyadhah, tafakur, tafkiyat an nafs dan dzikruloh adalah jalan-jalan untuk mendapatkan suatu kebenaran sejati dari Alloh melalui instuisi yang langsung dariNya.
Jika kita mengingat bahwa psikologi sufistik adalah disiplin ilmu yang mengkaji, mempelajari dan meneliti perilaku spiritualitas seseorang ketika berinteraksi dengan lingkungan sosial dan dengan Rabb-nya, yaitu Allah SWT. Maka empat jalan untuk mencapai epistemologi irfani itu akan membantu manusia untuk mendapatkan keseimbangan antara kehidupan sosial dengan kehidupan spiritualitasnya.
3.      Epistemologi Burhani
a.    Pengertian Epitemologi Burhani
Secara spesifik pengertian burhani dalam bahasa Arab, berasal dari kata “al-burhan” yang berarti argumen (al-hujjah) yang jelas (al-bayyinah). Dalam bahasa Inggris adalah demonstration, yang mempunyai akar bahasa latin dari kata demontratio (berarti memberi isyarat, sifat, keterangan dan penjelasan). Dalam perspektif logika (al-mantiq), burhani merupakan aktivitas berfikir untuk menetapkan kebenaran melalui metode penyimpulan (al-istintaj), dengan menghubungkan presmis tersebut terhadap premis yang lain dan dibenarkan oleh nalar atau telah terbukti kebenarannya. Sedang dalam pengertian umum, burhani adalah aktivitas nalar yang menetapkan kebenaran suatu premis.
Burhani adalah epistemologi yang didasarkan atas fakta yang disimpulkan. Epistemologi burhani didasarkan atas hubungan sebab akibat antara berbagai elemen, dengan demikian terciptalah gagasan tentang mungkinnya hukum alam. Al-Jabiri menyamakan sistem ini dengan rasionalisme.[13]
Jadi epistemologi burhani adalah salah satu epistemologi yang mengandalkan rasio manusia. Burhani menyandarkan diri pada kekuatan rasio atau akal yang dilakukan lewat dalil-dalil logika. Bahkan, dalil-dalil agama hanya bisa diterima sepanjang sesuai dengan logika rasional. Pendekatan ini menjadikan realitas teks maupun konteks sebagai sumber kajian. Dalam pendekatan ini, teks dan konteks, berada dalam satu wilayah yang saling berkaitan. Teks tidak berdiri sendiri, ia selalu terkait dengan konteks yang mengelilingi dan mengadakannya sekaligus konteks dari mana teks itu di baca dan ditafsirkan, sehingga pemahaman akan lebih kuat, untuk itu pemahaman terhadap realitas kehidupan sosial keagamaan dan sosial keislaman.
Epistemologi burhani dapat membantu perkembangan psikologi sufistik. Karena epistemologi burhani mampu memunculkan benang merah antara rasio dan dalil-dalil teks Islam, sehingga tidak akan terjadi kepincanngan dalam sebuah teori. Teori yang muncul dari epistemolgi burhani akan lebih kuat kedudukannya. Kebenaran dari teori dapat dilihat dari penguatan yang berasal dari dalil-dalil Islam.
b.        Jalan Untuk Mendapatkan Epistemologi Burhani
Untuk mendapatkan sebuah pengetahuan, burhani menggunakan aturan silogisme. Mengikuti Aristoteles, penarikan kesimpulan dengan silogisme ini harus memenuhi beberapa syarat,yakni:
1)   Mengetahui latar belakang dari penyusunan premis.
2)   Adanya konsistensi logis antara alasan dan keismpulan.
3)   Kesimpulan yang diambil harus bersifat pasti dan benar, sehingga tidak mungkin menimbulkan kebenaran atau kepastian lain.
Al Farabi mempersyaratkan bahwa premis-premis burhani harus merupakan premis-premis yang benar, primer dan diperlukan. Premis yang benar adalah premis yang memberi keyakinan, menyakinkan. Suatu premis bisa dianggap menyakinkan bila memenuhi tiga syarat, yakni:
1)      Kepercayaan bahwa sesuatu (premis) itu berada atau tidak dalam kondisi spesifik.
2)      Kepercayaan bahwa sesuatu itu tidak mungkin merupakan sesuatu yang lain selain darinya.
3)      Kepercayaan bahwa kepercayaan kedua tidak mungkin sebaliknya.
Selain itu, burhani bisa juga menggunakan sebagian dari jenis-jenis pengetahuan indra, dengan syarat bahwa objek-objek pengetahuan indera tersebut harus senantiasa sama (konstan) saat diamati, dimanapun dan kapanpun dan tidak ada yang menyimpulkan sebaliknya. .[14]
Epistemologi burhani mengakui kebenaran dari sebuah teori, jika premis satu dan premis yang lain ketika ditarik kesimpulan menunjukkan suatu kesimpulan yang konsisten. Artinya, antara pernyataan dari dalil-dalil Islam dan rasio manusia mengakui kesamaan dalam premis tersebut. Misal:
                        Premis 1: Semua makhluk ciptaan Alloh pasti mati.
                        Premis 2: Manusia pasti mati.
   Kesimpulan: Manusia adalah makhluk ciptaan Alloh yang pasti mati.
Pengakuan sebuah teori dari dalil-dalil Islam dan rasio manusia yang sama, akan membuat psikologi sufistik tidak mengalami kepincangan. Karena psikologi sufistik adalah mengukur, meneliti dan mengkaji keterpaduan antara spiritualitas dengan psikologi pada diri seseorang.
D.  Hubungan Epistemologi Bayani, Irfani dan Burhani dalam Psikologi Sufistik
Tiga pendekatan di atas adalah warisan yang tak ternilai harganya dalam pemikiran Islam. Ketiga pendekatan ini pula hingga kini masih banyak dipergunakan para pengkaji di kalangan muslim dan sebagian non muslim. Ada perkembangan cukup menarik dalam ajaran pemikiran Islam, dimana terdapat upaya-upaya sejumlah sarjana muslim dari berbagai kalangan untuk mengupayakan adanya proses pemaduan pemahaman.
Hubungan yang baik antara ketiganya adalah hubungan yang saling berkaitan. Artinya, bahwa masing-masing pendekatan keilmuan yang digunakan dalam pemikiran keislaman sadar dan memahami keterbatasan, kekurangan dan kelemahan yang melekat pada diri masing-masing dan sekaligus bersedia memperbaiki kekurangan yang melekat pada dirinya. Dengan begitu, kekakuan, kekeliruan, ketidaktepatan, kesalahan yang melekat pada masing-masing metodologi dapat dikurangi dan diperbaiki, setelah memperoleh masukan dari pendekatan bayani, burhani maupun irfani. Corak hubungan yangsaling berkaitan, tidak menunjukkan adanya finalitas dan eksklusifitas, lantaran finalitas hanya untuk kasus-kasus tertentu dan hanya mengantarkan seseorang dan kelompok muslim pada jalan buntu (dead lock) yang cenderung menyebabkan ketidakharmonisan hubungan antar sesama muslim. Lebih-lebih lagi, finalitas tidak memberikan kesempatan munculnya new possibilites (kemungkinan-kemungkinan baru) yang barangkali lebih kondusif untuk menjawab persoalan-persoalan keIslaman kontemporer.
E.  Aplikasi Epistemologi Islam dalam Psikologi Sufistik menurut Perspektif al Hakim  al Tirmidzi
Al Hakim memandang bahwa jiwa manusia mempunyai tabiat yang jahat. Karena itu padanan yang paling tepat untuk kata jiwa atau (nafs) ini  adalah nafsu dan eros. Setiap anak manusia berkewajiban untuk melawan erosnya tersebut dengan meneladani Sang Rasul yang telah berhasil menaklukkan eros yang menjadi syaitannya. Karena orang yang mengikuti jalan Sang Rasul akan bertindak hati-hati demi menjaga agamanya dengan penuh keimanan, kejujuran dan menggunakan segala daya upayanya untuk mengikuti kebenaran.
Al Hakim menggambarkan perseteruan jiwa dalam dan hati seperti dua negara yang merepresentasikan Islam atau kebenaran dan kelompok kafir. Kedua negara ini berusaha untuk menguasai kawasan jiwa luar yang sangat strategis. Menarik untuk diperhatikan bahwa ide awal yang diberikan oleh tokoh ini kemudian dielaborasikan lebih jauh dalam pembahasan tentang nafs atau jiwa atau eros yang dipaparkan oleh banyak tokoh sufi, seperti Imam al Ghazzali dalam Kimiya’ al Sa’adah, hingga banyak diambil oleh pengkaji psikologi sufi kontemporer. Untuk lebih jelasnya tentang epistimologi al hakim, akan di jabarkan sebagai berikut :
1.      Epistimologi Bayani
a.       Ruh
Menurut al Hakim, ruh yang sudah suci dan tersucikan ini ada beberapa macam. Diantaranya ruh yang mempunyai kemampuan untuk beranjangsana ke alam barzakh hingga mampu melihat realitas dunia dan mendengarkan pembicaraan para malaikat yang membincang keadaan umat manusia. Ada juga ruh yang berkesempatan bersujud di bawah Singgasana (`arsy) Allah.
Disisi lain, ada pula ruh yang setelah kematian jasadnya berkesempatan untuk beranjangsana ke surga dan menikmati keindahannya, sesuai dengan amal perbuatannya di dunia. Jelas sekali, pandangan ini bertolak dari beberapa hadist nabi seperti yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah bahwa rasulullah bersabda:
 Saya melihat Ja`far b. Abi h alib sedang terbang di surga dengan dua sayapnya bersama para malaikat”.
Sedangkan yang pertama, kita mendapatkan al-Hakim meriwayatkan bahwa sahabat agung Salman al-Farisi telah berkata:
Bahwasanya ruh seorang yang beriman bisa masuk ke alam barzakh dan pergi antara langit dan bumi, sampai Allah mengembalikannya ke tubuhnya sendiri . . .”.
 Al Hakim juga meriwayatkan dari Abu Darda’, bahwasanya dia berkata: “Sesungguhnya jiwa-jiwa manusia naik ke hadirat Allah di saat tidur. Jiwa yang suci akan bersujud tepat di bawah singgasana-Nya. Jiwa yang tidak suci akan bersujud di tempat yang jauh dan semakin menjauh. Sedangkan jiwa yang junub (terkena hadas spiritual yang besar) tidak akan diperkenankan untuk bersujud”.
Kemudian dia menjelaskan lagi: kalaulah dengan kesucian karena air wudu seseorang bisa bersujud di bawah singgasana-Nya, lalu bagaimana pula dengan orang yang mensucikan (diri dan ruhnya) dengan cahaya-cahaya Allah yang selalu menghampiri hatinya lalu menyebar ke seluruh tubuhnya. Sungguh sujud orang yang disebut terakhir ini sangat besar nilainya dalam pandangan Allah”.
b.      Akal
Al Hakim menjelaskan bahwa Allah telah menciptakan akal dari cahaya kewibawaan-Nya dan dilihat dari partikel penyusun katanya, terdiri dari tiga huruf: ‘ayn, qaf dan lam. Perunutan terhadap makna ketiga partikel tersebut menunjukkan kapasitas dan kedudukan akal dalam perspektif tokoh ini. Karena huruf ‘ayn mempunyai signifikansi keagungan, kemuliaan, ketinggian, ilmu pengetahuan dan anugerah. Sedangkan huruf qaf menunjukkan makna kedekatan, petuah, ketenangan, otoritas dan kemampuan. Adapun huruf lam menunjukkan arti kelemahlembutan yang selanjutnya diambil dari kasih-sayang. Kasih sayang  ini dari empati, empati dari belas-kasih, belas kasih dari kerinduan dan akhirnya kerinduan dari cinta. Kata cinta  mengandung dua huruf yang menjadi partikel penyusunnya, yaitu huruf ha’ yang menandakan makna kehidupan, rasa malu, stabilitas mental dan kebijaksanaan, serta huruf ba’ yang menunjukkan makna karunia  dan keindahan.
Menurut penelisikan rahasia metafisik yang dilakukan oleh al- Hakim, dengan huruf ha’ yang berarti kehidupan Allah telah menghidupkan tubuh manusia. Dengan huruf ha’ yang terdapat dalam kata cinta, Allah telah menghidupkan hati seorang manusia hingga bisa mengenal-Nya. Sementara dengan huru ba’ yang berarti karunia Allah telah menganugerahkan kepada manusia berbagai kenikmatan dunia. Sedangkan dengan huruf ba’ yang berarti keindahan Allah telah membanggakan outer dan inner beauty yang terdapat dalam diri manusia di hadapan para malaikat-Nya.
c.       Hati 
Berdasarkan pemahaman para sufi  terhadap teks-teks suci (al-Qur’an dan Sunnah), hati adalah alat persepsi untuk memahami hakikat dan mengkontemplasikannya, sehingga bisa memutuskan untuk beriman atau tidak. Dalam al Qur’an, misalnya dikatakan:
Tetapi Allah menjadikan keimanan itu bertengger di inti hati kalian dan menghiasi keimanan itu di dalamnya”. ( QS. 49:7)
Selain berfungsi sebagai alat pencandra, hati juga mempunyai fungsi sebagai ranah intuisi sufistik yang bisa merasakan makna-makna yang tidak tersuratkan di balik hakikat segala sesuatu. Tidaak heran jika al Hakim menegaskan bahwa hati adalah poros utama keimanan dan ketakwaan seorang manusia.
2.      Epistimologi Irfani
a.       Ruh
Ruh bagi ahli hikmah ini adalah “nyawa” yang menghidupkan segala sesuatu. Jiwa manusia hidup karena ada ruhnya, demikian juga dengan hati yang dihidupkan dengan keIslaman, keimanan dan makrifat. Bagi beliau, ruh ini berbeda dengan jiwa (eros), karena yang disebut terakhir ini bersifat duniawi dan membumi, sedangkan ruh adalah samawi dan merupakan unsur’ keTuhanan yang ada dalam diri manusia.
Meskipun jiwa dan nyawa mempunyai peran yang saling berkelindan dalam menghidupkan tubuh dan menggerakkan seluruh bagiannya, tetapi kehidupan yang ditopang oleh jiwa dan nyawa itu berbeda. Ruh bekerjasama dengan hati yang mengajak untuk berbuat kebaikan, sedangkan eros mengajak kita untuk memenuhi kebutuhan hedonistik. Dengan terpenuhinya kedua kebutuhan itu manusia hidup dan dengan keseimbangan kedua kebutuhan itulah hidup manusia menjadi seimbang pula.
b.      Akal
Sedangkan yang disebut sebagai akal, menurut al Hakim adalah anugerah Allah dan besaran potensi akal yang didapatkan seseorang akan menjadi parameter bagi kedudukan spiritualnya. Karena akal yang berlokasi di otak tercipta dari cahaya yang menyinari sampai ke relung hati dan berfungsi untuk menangkap data dan menentukan orientasi penyikapan seorang anak manusia terhadap segala sesuatu. Akallah yang mendorong orang tersebut untuk beribadah dan agar mengeluarkan segala daya upaya untuk mewujudkannya. Akal pula yang mendeteksi keburukan dan kemunkaran serta memberikan sinyal kepada hati untuk menolak atau menghindarinya. Itu kalau akal seseorang berhasil menghegemoni hatinya secara utuh dan menghancurkan kekuasaan hawa nafsunya.
Bahkan akal ini bisa mengantarkan hati untuk mengenal Tuhannya dan selanjutnya akan berhasil “mencapainya” melalui mujahadah sufistik yang tak mengenal lelah. Sebaliknya, sepanjang hati seseorang telah tertawan dalam cengkeram hawa nafsu, maka selama itu pula hatinya akan mendorong manusia untuk menggunakan anggota tubuhnya dalam keburukan dan kejahatan.
c.       Hati
Adapun panca indra terpenting dalam epistemologi sufistik yang digariskan oleh al Hakim adalah hati. Baginya hati adalah alat indera utama untuk mencapai derajat makrifat dan mempersepsi rahasia-rahasia Ilahi. Sebagaimana umumnya para sufi  lainnya, hati ini bukanlah berfungsi sebagai alat perasa yang menyerap keindahan estetik, rasa suka dan benci atau rasa cinta dan antipati seperti yang dipahami banyak orang.
3.      Epistemologi Burhani
a.       Ruh
Menurut al Hakim, ruh ini mempunyai dua hal (state) yang menarik dan saling bertentangan. Kalau ruh seorang manusia dikuasai oleh nafsu hedonistiknya, ruh itu akan menjadi berat dan selalu cenderung terhadap kepentingan-kepentingan yang membumi, karena tertarik oleh daya gravitasi hawa nafsu yang kuat. Sementara kalau ruh itu bekerja keras menentang upaya akuisisi yang dilakukan oleh nafsunya, dia akan menjadi jernih dan ringan, hingga bisa dengan mudah berhubungan dengan Dzat Ilahi dan unsur-unsur transendental lainnya. Ruh itu akan dengan mudah mengenali sesamanya, seperti Umar bin Khaththab yang dengan mudah mengenali Abu Muslim al Khullani dalam sekejap pandang, juga Salman al Farisi yang mengenal al Harits bin Amirah, juga Uwais al Qarni yang langsung mengenal Haram bin al Hayyan dan menyatakan: “Ruh-ku sudah mengenaI ruh-mu sebelum kita saling bertemu”.
b.      Akal
Lebih jauh lagi, tingkatan-tingkatan (maqamat) akal menurut tokoh ini adalah sebagai berikut:
1)   Akal Fitri, yaitu akal biologis-psikologis yang membuat seorang anak kecil dan orang dewasa tidak disebut sebagai orang gila. Dengan akal ini dia bisa mempersepsi apa yang dikatakan padanya, juga bisa membedakan yang baik dan yang buruk serta memilih antara mana yang mulia dan layak dilakukan, mana pula yang hina dan harus dihindarkan.
2)   Akal Taklif atau Hujjah, yaitu akal yang membuat manusia mempunyai kemampuan untuk menerima beban kewajiban agama dari Allah. Akal ini didapatkannya ketika seorang anak sudah mencapai usia akil baligh. Pada saat itu Allah akan membekalinyad engan cahayaNya hingga dia bisa memahami perintah dan laranganNya.
3)   Akal Eksperimentatif. Dengan bertolak dari makna literal sebuah hadis, dia menyatakan bahwa akal ini sudah dibekali dengan berbagai pengalaman hidup sehingga bisa bertindak lebih bijaksana di kemudian hari. Rasulullah bersabda: “Orang bisa terkontrol emosinya kalau sudah pernah melakukan kesalahan. Orang yang bijak pasti sudah berpengalaman”.
4)   Akal yang diwariskan, yaitu akal yang didapatkan oleh seorang anak atau keturunan yang tidak bijak dari warisan orang tuanya atau gurunya yang cerdik dan pandai, alim dan bijaksana. Bisa jadi anak ini tadinya idiot atau nakal dan tidak pernah belajar sebelumnya. Begitu orang tua atau gurunya meninggalkan, Allah mewariskan kebijaksanaan dan stabilitas mental yang dimiliki ayah atau gurunya kepada anak itu berkat doa dan baktinya.
5)   Akal yang seimbang, yang oleh tokoh ini disebut sebagai “al Lubb”(Inti Akal). Ini adalah akal yang sudah dipatrikan dengan cahaya hidayah Allah, sehingga tidak akan pernah bisa melakukan hal-halyang tercela.
c.       Hati
Sebagaimana sempat disinggung dalam pembahasan tentang jiwa, al Hakim menggambarkan hubungan antara hati dan jiwa seperti dua orang yang saling membutuhkan di satu sisi dan saling bertarung berebut pengaruh disisi lain dengan menjadikan dada manusia sebagai medan pertempuran utama. Yang satu adalah raja yang mempunyai kekuasaan penuh (yaitu hati) dan yang lain adalah menteri keuangan sekaligus penguasa pelabuhan tempat aktivitas ekspor-impor (yaitu eros).
Meskipun sejatinya jiwa ini tidak mempunyai kekuasaan apa-apa karena ada di bawah raja, tetapi raja sangat bergantung kepada jiwa dalam memenuhi kebutuhan rakyatnya (yaitu tubuh). Oleh sebab itu, agar sang raja bisa independen dalam mengambil keputusan terbaik, dia harus memerdekakan diri dari ketergantungan kepada jiwa. Sebab makrifat Ilahiyah akan bertengger abadi di dalam hati seorang anak manusia jika dia sudah membersihkan hatinya dari tingkah laku yang buruk dan nafsu yang hedonistik. Itulah pula yang menjustifikasikan korelasi segitiga yang selalu ditekankan oleh ahli hikmah ini bahwa kewalian seseorang tergantung tingkat makrifatnya dan makrifat itu tergantung budi pekerti (akhlaknya), sedangkan budi pekerti itu akan bercahaya terang bersama cerahnya semburat derajat kewalian orang tersebut.[15]





BAB III
KESIMPULAN
Epistimologi dalam psikologi sufistik adalah teori pengetahuan yang bertujuan untuk mengadakan penilaian atau pembenaran dari ilmu psikologi sufistik, sehingga dapat diketahui kebenaran dari teori psikologi sufistik tersebut. Selain itu, epistemologi dalam psikologi sufistik juga bertujuan untuk mengontrol perkembangan dari teori psikologi sufistik, agar tidak melenceng dari al Qur’an dan al Hadist. Ada seorang tokoh yang bernama Muhammad Abid al Jabiri yang terkenal sebagai tokoh epistemologi dalam psikologi sufistik. Dia membagi model-model epistemologi slam menjadi 3, yakni epistemologi bayani, epistemologi irfani dan epistemologi burhani.
Pertama, epistimologi bayani adalah pendekatan dengan cara menganalisis teks. Maka sumber epistemologi bayani adalah teks. Sumber teks dalam studi Islam dapat dikelompokkan menjadi dua, yakni: teks nash (al-Qur`an dan Sunnah Nabi Muhammad SAW) dan teks non nash berupa karya para ulama. Epistemologi bayani digunakan dalam psikologi sufistik untuk mendapatkan pemahaman yang baik dan benar, khususnya terhadap teks al Qur’an dan al Hadits yang terdapat di dalamnya. Karena ketika seseorang salah dalam menafsirkan sebuah teks, maka hasil penafsiran tersebut tidak dapat dijadiakan acuan dalam sebuah hukum.
Untuk mendapatkan pengetahuan, epistemologi bayani menempuh dua jalan. Pertama, berpegang pada redaksi teks dengan menggunakan kaidah bahasa Arab. Kedua, berpegang pada makna teks dengan menggunakan logika, penalaran atau rasio sebagai sarana analisis.
Kedua, epistemologi irfani adalah pengetahuan yang diperoleh melalui kasyaf dan ilham, dikalangan sufi dianggap lebih tinggi daripada pengetahuan biasa yang diperoleh melalui usaha manusia dengan indera dan akal. Disini perlu penghayatan dan pengamalan keagamaan yang mendalam sebagai perangkat untuk memahami dan menjelaskan agama. Dalam pendekatan irfani ini terdapat unsur humanitas (rasa kemanusiaan), tetapi humanitas ilahiyyah, yakni rasa kemanusian yang timbul setelah banyak melakukan dalam munajat dan mujahadah kepada Allah swt. Orang-orang yang bersungguh-sungguh dalam munajat dan mujahadah kepada Allah akan dibukakan hijab yang menutup antara dirinya dengan Allah, sehingga tidak ada lagi batas atau hijab.
Dalam psikologi sufistik, epistemologi irfani dibutuhkan sebagai suatu metode untuk mendapatkan sumber pengetahuan seorang sufi yakni, suatu kebenaran yang sejati. Melalui epistemologi irfani suatu pengetahuan akan kebenaran didapatkan seseorang langsung dari Alloh, sehingga tidak ada cacat sedikitpun didalam pengetahuan tersebut. Pengetahuan akan kebenaran yang sejati ini bisa membuat orang lebih baik dalam menjalankan kewajibanya tehadap Tuhan dan menjalani kehidupan sosial.
Menurut al Ghazali ada 4 jalan yang harus dilalui oleh seseorang untuk mendapatkan pengetahuan epistemologi irfani, yakni: riyadhah, tafakur, tazkiyat an nafs dan dzikrullah.
Ketiga, epistemologi burhani adalah salah satu epistemologi yang mengandalkan rasio manusia. Burhani menyandarkan diri pada kekuatan rasio atau akal yang dilakukan lewat dalil-dalil logika. Bahkan, dalil-dalil agama hanya bisa diterima sepanjang sesuai dengan logika rasional. Epistemologi burhani dapat membantu perkembangan psikologi sufistik. Karena epistemologi burhani mampu memunculkan benang merah antara rasio dan dalil-dalil teks Islam, sehingga tidak akan terjadi kepincanngan dalam sebuah teori. Teori yang muncul dari epistemolgi burhani akan lebih kuat kedudukannya. Kebenaran dari teori dapat dilihat dari penguatan yang berasal dari dalil-dalil Islam.
Untuk mendapatkan sebuah pengetahuan, burhani menggunakan aturan silogisme. Sebagaimana silogisme Aristoteles dan al Faribi.
Hubungan yang baik antara ketiganya adalah hubungan yang saling berkaitan. Artinya, bahwa masing-masing pendekatan keilmuan yang digunakan dalam pemikiran keislaman sadar dan memahami keterbatasan, kekurangan dan kelemahan yang melekat pada diri masing-masing dan sekaligus bersedia memperbaiki kekurangan yang melekat pada dirinya. Dengan begitu, kekakuan, kekeliruan, ketidaktepatan, kesalahan yang melekat pada masing-masing metodologi dapat dikurangi dan diperbaiki, setelah memperoleh masukan dari pendekatan bayani, burhani maupun irfani. Corak hubunganyang saling berkaitan, tidak menunjukkan adanya finalitas dan eksklusifitas, lantaran finalitas hanya untuk kasus-kasus tertentu dan hanya mengantarkan seseorang dan kelompok muslim pada jalan buntu (dead lock) yang cenderung menyebabkan ketidakharmonisan hubungan antar sesama muslim. Lebih-lebih lagi, finalitas tidak memberikan kesempatan munculnya new possibilites (kemungkinan-kemungkinan baru) yang barangkali lebih kondusif untuk menjawab persoalan-persoalan keIslaman kontemporer.
Aplikasi Epistemologi Islam dalam Psikologi Sufistik menurut Perspektif al Hakim  al Tirmidzi hampir sama. Al Hakim memandang bahwa jiwa manusia mempunyai tabiat yang jahat. Karena itu padanan yang paling tepat untuk kata jiwa atau (nafs) ini adalah nafsu dan eros. Setiap anak manusia berkewajiban untuk melawan erosnya tersebut dengan meneladani Sang Rasul yang telah berhasil menaklukkan eros yang menjadi syaitannya. Karena orang yang mengikuti jalan Sang Rasul akan bertindak hati-hati demi menjaga agamanya dengan penuh keimanan, kejujuran dan menggunakan segala daya upayanya untuk mengikuti kebenaran.
Al Hakim menggambarkan perseteruan jiwa dalam dan hati seperti dua negara yang merepresentasikan Islam atau kebenaran dan kelompok kafir. Kedua negara ini berusaha untuk menguasai kawasan jiwa luar yang sangat strategis. Menarik untuk diperhatikan bahwa ide awal yang diberikan oleh tokoh ini kemudian dielaborasikan lebih jauh dalam pembahasan tentang nafs atau jiwa atau eros yang dipaparkan oleh banyak tokoh sufi, seperti Imam al Ghazzali dalam Kimiya’ al Sa’adah, hingga banyak diambil oleh pengkaji psikologi sufi kontemporer.
DAFTAR PUSTAKA

‘Abid Al-Jabiri, Muhammad, 2003,  Kritik Pemikiran Islam Wacana Baru Filsafat Islam, alih bahasa dari  Burhan,  Yogyakarta: Fajar Pustaka Baru
Ainul Abied Shah, Muhammad, 2012, Jurnal Epistemologi Sufi Perspektif al Hakim al Tirmidzi, Jurusan Akidah dan Filsafat Fak. Ushuluddin Universitas Al- Azhar: Kairo
Anwar, Rosihan dan  Mukhtar Solihin, 2000, Ilmu Tasawuf,  Pustaka Setia: Bandung
Surajiyo, 2009, Ilmu filsafat Suatu Pengantar, Jakarta : Bumi Aksara
Andika Maulana, Metode Penafsiran Al-Jabiri, http://tafsirhadits2012.blogspot.com/2014/06/metode-penafsiran-al-jabiri.html, diakses 6 Maret 2015, Pukul 11.12 WIB

Budi, Kerangka Berfikir Irfani: Dasar-Dasar Falsafi Ahwal Dan Maqamat , http;//Kerangka Berfikir Irfani: Dasar-Dasar Falsafi Ahwal Dan Maqamat.html, diakses 6 Maret 2015, Pukul 12.35.

Dewi, Epistimologi Islam, http://dewishobich.blogspot.com/2013/12/epistimologi-islam.html, diakses 3 Maret 2015, Pukul 05.45 WIB
Eka Salem, Makalah Psikologi Sufi, https://ekasaleem.wordpress.com/2012/02/22/makalah-psikologi-sufi.html, diakses 5 Maret 2015, Pukul 16.45 WIB
Erwin Dahapsari, Pengertian Epistemologi, http://erwindahapsari.blogspot.com/2012/06/pengertian-epistemologi.html, diakses 5 Maret 2015, Pukul 16.30 WIB
Falah, Epistemologi Bayani Irfani dan Burhani, http://al-falahbungas.blogspot.com/2009/05/epistemologi-bayani-irfani-dan-burhani.html, diakses 6 Maret 2015, Pukul 09.45 WIB
Khudori Shaleh, Model-Model Epistemologi Islam, http://psikologi.uin-malang.ac.id/wp-content/uploads/2014/03/Model-Model-Epistemologi-Islam.pdf, diakses 3 Maret 2015, Pukul 06.12 WIB
Sembodo Ardi Widodo, Metodologi Bayani, Irfani, Burhani dan Hubungan Ketiganya, http://digilib.uinsuka.ac.id/8511/1/SEMBODOARDI%20WIDODO%20NALARRAYANI,%20%27IRFANI,20DAN%20BURHANIDAN%20IMPLIKASINYATERHADAP%20KEILMUAN%20PESANTREN.pdf, diakses 4 Maret 2015, Pukul 06. 45 WIB


[1]Surajiyo,  Ilmu filsafat Suatu Pengantar, (Jakarta : Bumi Aksara, 2009 ), hlm.53
[2]Erwin Dahapsari, Pengertian Epistemologi, http://erwindahapsari.blogspot.com/2012/06/pengertian-epistemologi.html, diakses 5 Maret 2015, Pukul 16.30 WIB
[3]Eka Salem, Makalah Psikologi Sufi, https://ekasaleem.wordpress.com/2012/02/22/makalah-psikologi-sufi.html, diakses 5 Maret 2015, Pukul 16.45 WIB
[4] Rosihan Anwar dan  Mukhtar Solihin, Ilmu Tasawuf,  (Pustaka Setia: Bandung,  2000), hlm. 78
[5]Muhammad ‘Abid Al-Jabiri, Kritik Pemikiran Islam Wacana Baru Filsafat Islam, alih bahasa dari  Burhan,  (Yogyakarta: Fajar Pustaka Baru, 2003), hlm. vi-viii
[6]Dewi, Epistimologi Islam, http://dewishobich.blogspot.com/2013/12/epistimologi-islam.html, diakses 3 Maret 2015, Pukul 05.45 WIB
[7]Rosihan Anwar dan  Mukhtar Solihin,  Ilmu Tasawuf,..., hlm. 78
[8]Khudori Shaleh, Model-Model Epistemologi Islam, http://psikologi.uin-malang.ac.id/wp-content/uploads/2014/03/Model-Model-Epistemologi-Islam.pdf, diakses 3 Maret 2015, Pukul 06.12 WIB
[9]Sembodo Ardi Widodo, Metodologi Bayani, Irfani, Burhani dan Hubungan Ketiganya, http://digilib.uinsuka.ac.id/8511/1/SEMBODOARDI%20WIDODO%20NALARRAYANI,%20%27IRFANI,20DAN%20BURHANIDAN%20IMPLIKASINYATERHADAP%20KEILMUAN%20PESANTREN.pdf, diakses 4 Maret 2015, Pukul 06. 45 WIB
[10]Dewi, Epistimologi Islam, http://dewishobich.blogspot.com/2013/12/epistimologi-islam.html, diakses 3 Maret 2015, Pukul 05.45 WIB
[11]Falah, Epistemologi Bayani Irfani dan Burhani, http://al-falahbungas.blogspot.com/2009/05/epistemologi-bayani-irfani-dan-burhani.html, diakses 6 Maret 2015, Pukul 09.45 WIB

[12]Budi, Kerangka Berfikir Irfani: Dasar-Dasar Falsafi Ahwal Dan Maqamat , http;//Kerangka Berfikir Irfani: Dasar-Dasar Falsafi Ahwal Dan Maqamat.html, diakses 6 Maret 2015, Pukul 12.35.

[13]Andika Maulana, Metode Penafsiran Al-Jabiri, http://tafsirhadits2012.blogspot.com/2014/06/metode-penafsiran-al-jabiri.html, diakses 6 Maret 2015, Pukul 11.12 WIB
[14]Dewi, Epistimologi Islam, http://dewishobich.blogspot.com/2013/12/epistimologi-islam.html, diakses 3 Maret 2015, Pukul 05.45 WIB
[15]Muhammad Ainul Abied Shah, Jurnal Epistemologi Sufi Perspektif al Hakim al Tirmidzi, (Jurusan Akidah dan Filsafat Fak. Ushuluddin Universitas Al- Azhar: Kairo, 2012), hlm. 158-168

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

KISAHKU : AKU TAKUT SUAMIKU TAMPAN

  *SINOPSIS KISAHKU* AKU TAKUT SUAMIKU TAMPAN Namaku adalah Arina. Aku terlahir menjadi anak kedua dari dua bersaudara. Dari ke...